Thursday, May 23, 2013

PAK IYA BERJUALAN SEKOTENG UNTUK ‘MENGHANGATKAN’ KOTA BOGOR





BOGOR - ‘Kota hujan’, mungkin dua kata itu yang terbesit didalam pikiran masyarakat ketika mendengar nama Bogor. Dikelilingi tiga gunung seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango dan  Gunung Gede membuat cuaca di kawasan Kota Bogor menjadi relatif dingin.

Meskipun disebut sebagai ‘Kota Hujan’ tetapi secara umum Kota Bogor sendiri berada dilevel yang aman dari bahaya banjir, ini dikarenakan Kota Bogor dialiri beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan Kota, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok.

Dengan curah hujan yang cukup besar setiap tahunnya yaitu berkisar antara 3500-4000 mm pertahun, Bogor menjadi salah satu kota yang paling intens diguyur hujan. Suasana dingin pun tak bisa terelakkan lagi, terutama di kawasan Puncak dan sekitarnya.

Ditengah-tengah suasana yang dingin itu terselip sebuah ide dari seorang pedagang sekoteng untuk menjajakan dagangannya di kawasan Puncak. Insting atau intuisi berbisnis memang tidak bisa dipanggil atau direncanakan. Kedua hal itu datang dengan sendirinya seiring dengan orang tersebut melihat suatu peluang usaha.

Salah satu pedagang sekoteng ‘penghangat’ Kota Bogor itu bernama Pak Iya, dia berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Walaupun sekoteng berasal dari daerah asalnya, Pak Iya memilih untuk berdagang di kawasan Puncak karena melihat peluang usaha yang lebih menjanjikan. Sendirian tanpa keluarga yang menemaninya disini, dia berjualan tanpa lelah mengelilingi kawasan yang notabenenya jalannya naik-turun seperti Puncak. Bahu Pak Iya tak pernah lelah memikul sekoteng jualannya menaiki atau menuruni jalanan di Puncak.

Tahun 1995 merupakan tahun pertama Pak Iya menjual sekotengnya mengikuti temannya selepas lulus SMP. Di Bogor, dia mengontrak rumah dengan dua temannya, sedangkan isteri dan keluarganya tetap tinggal di Cirebon. Sang isteri hanya bisa menunggu setiap sebulan sekali untuk kepulangan suaminya berjualan sekoteng.

“Saya pulang sebulan sekali, disini mah sendiri sama temen aja, disini saya cari duit, kalau sudah dapet ya pulang, duitnya ditransfer, kan sekarang sudah mudah mentransfer uang,” kata Pak Iya menjelaskan bahwa dirinya merantau ke Bogor sendiri tanpa membawa sanak keluarga.

Dengan berjualan sekoteng, Pak Iya dapat menghidupi isteri dan kedua anak perempuannya. Dua anak perempuannya tidak hidup terlantar maupun susah. Anak perempuannya yang satu sudah lulus pendidikan SMA dan yang satunya sudah berumah tangga. Dia juga sudah mempunyai rumah sendiri di Cirebon,walaupun tidak besar, itu cukup untuk menjadi tempat beristirahat keluarganya. Isterinya di kampung bekerja sebagai petani di sawah dan pengrajin anyam-anyaman.

Penghasilan Pak Iya berjualan hanya sekitar Rp.50.000 perharinya dari setiap mangkuk dia mematok harga Rp.5000.

“Kalau perharinya tuh paling kebagian Rp.50.000, ya ga tentu kadang dapat lebih, ga tentu tapi diatas Rp. 50.000,” kata Pak Iya.

Pembelinya beragam, mulai dari anak SD sampai dengan orang dewasa. Rata-rata pembelinya merasa dengan keberadaan pedagang sekoteng di kawasan puncak sangat membantu untuk menghangatkan tubuh mereka. Menurut mereka, rasa khas sekoteng yang terbuat dari jahe itu dapat membuat tubuh mereka tetap terasa hangat ditengah-tengah cuaca dingin yang terkadang tetap menembus jaket yang tebal sekalipun.

“Menurut saya, orang yang berjualan sekoteng di kawasan puncak cocok banget, kita disini dengan cuaca yang dingin bisa dihangatkan seketika oleh semangkuk sekoteng itu. Saya sering beli juga kok kalau cuaca lagi dingin-dinginnya,” kata Icang, salah satu pembeli sekoteng Pak Iya.

Dibalik keberhasilannya menghidupi keluarga ditengah kerasnya persaingan berjualan di kawasan Puncak, Pak Iya masih memiliki satu keinginan atau sebuah mimpi yang mulia. Dia ingin menyekolahkan lebih lanjut anaknya ke jenjang yang lebih tinggi seperti memasuki dunia perkuliahan. Walaupun berjualan sekoteng, Pak Iya tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya, mereka harus lebih tinggi darinya. Anaknya yang paling kecil ingin dia masukkan ke perkuliahan agar memiliki pengetahuan yang tinggi.

“Ya pengen sih, sebagai orangtua ya pengen. Pengen sekali tuh, kalau saya berjualan sekoteng ya anak saya jangan ikutanlah, harus ada peningkatan, harus lebih tinggi,” kata Pak Iya memberitahukan cita-cita mulianya tersebut.

Bukannya tanpa rintangan, dengan medan jalan yang tidak rata berupa tanjakan dan turunan membuat Pak Iya sedikit lelah. Keluhannya juga seperti ada beberapa orang yang tidak membayar setelah membeli dagangannya. Tetapi secara  keseluruhan, dia merasa berjualan sekoteng disini termasuk aman. Tingkat kriminalitas yang rendah itulah yang membuat Pak Iya tetap berkeras untuk berjualan. Berbeda dengan Jakarta, tingkat kriminalitas yang tinggi di ibukota negara tersebut membuat Pak Iya takut untuk berjualan disana.

Pengalaman yang paling memilukan yang dialaminya sepanjang berjualan sekoteng adalah dia pernah mengalami tabrakan dengan pengendara mobil maupun motor. Pengendara gelap yang menabraknya menyebabkan dagangannya tumpah ke jalan dan dia mengalami luka sedikit dikakinya. Setelah menabrak, pelakunya langsung kaburmelarikan diri.

“Waktu saya nyeberang, ada motor nabrak saya, alhamdulillah saya cuma luka sedikit dan dagangan saya tumpah. Pengendaranya langsung kabur gitu,” kata Pak Iya sedikit kesal.

Begitulah sepenggal kisah seorang pedagang sekoteng yang bisa ‘menghangatkan’ sejenak masyarakat Kota Bogor, bisa menghidupi keluarganya secara layak walaupun penghasilannya tidak terlalu besar. Kisah Pak Iya ini menyampaikan suatu pesan bahwa apabila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh tidak ada hal yang tidak bisa kita lakukan.

Rintangan dan keterbatasan bukan menjadi halangan dari sebuah niat baik yang tercipta untuk kehidupan. Hidup harus dijalani dengan ikhlas tanpa beban, dengan niat dan usaha yang baik maka apa yang kita inginkan akan menjadi sebuah kenyataan lagi bukan sekedar mimpi.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, meskipun Pak Iya dapat menghidupi keluarganya, dia masih memiliki satu mimpi menyekolahkan anaknya ke tingkat perkuliahan.
Semoga mimpi Pak Iya tersebut bukan cuma hadir didalam setiap tidurnya tapi menjadi sebuah sinar yang menerangi kehidupannya. Sebuah kenyataan akan mimpinya itu adalah sinar terang yang dia harapkan selama ini.



No comments:

Post a Comment