BOGOR - ‘Kota hujan’,
mungkin dua kata itu yang terbesit didalam pikiran masyarakat ketika mendengar
nama Bogor. Dikelilingi tiga
gunung seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango dan
Gunung Gede membuat cuaca di
kawasan Kota Bogor menjadi relatif dingin.
Meskipun disebut
sebagai ‘Kota Hujan’ tetapi secara umum Kota Bogor sendiri berada dilevel yang aman
dari bahaya banjir, ini dikarenakan
Kota Bogor dialiri beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan
Kota, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan
Cibalok.
Dengan curah
hujan yang cukup
besar setiap
tahunnya yaitu berkisar antara 3500-4000 mm pertahun, Bogor menjadi salah satu kota yang paling
intens diguyur hujan. Suasana dingin pun tak bisa terelakkan lagi, terutama di
kawasan Puncak dan sekitarnya.
Ditengah-tengah
suasana yang dingin itu terselip sebuah ide dari seorang pedagang sekoteng
untuk menjajakan dagangannya di kawasan Puncak. Insting atau intuisi berbisnis
memang tidak bisa dipanggil atau direncanakan. Kedua hal itu datang dengan
sendirinya seiring dengan orang tersebut melihat suatu peluang usaha.
Salah satu pedagang
sekoteng ‘penghangat’ Kota Bogor itu bernama Pak Iya, dia berasal dari Cirebon,
Jawa Barat. Walaupun sekoteng berasal dari daerah asalnya, Pak Iya memilih untuk
berdagang di kawasan Puncak karena melihat peluang usaha yang lebih
menjanjikan. Sendirian tanpa keluarga yang menemaninya disini, dia berjualan
tanpa lelah mengelilingi kawasan yang notabenenya jalannya naik-turun seperti
Puncak. Bahu Pak Iya tak pernah lelah memikul sekoteng jualannya menaiki atau
menuruni jalanan di Puncak.
Tahun 1995 merupakan
tahun pertama Pak Iya menjual sekotengnya mengikuti temannya selepas lulus SMP.
Di Bogor, dia mengontrak rumah dengan dua temannya, sedangkan isteri dan keluarganya
tetap tinggal di Cirebon. Sang isteri hanya bisa menunggu setiap sebulan sekali
untuk kepulangan suaminya berjualan sekoteng.
“Saya pulang
sebulan sekali, disini mah sendiri sama temen aja, disini saya cari duit, kalau
sudah dapet ya pulang, duitnya ditransfer, kan sekarang sudah mudah mentransfer
uang,” kata Pak Iya menjelaskan bahwa dirinya merantau ke Bogor sendiri tanpa
membawa sanak keluarga.
Dengan berjualan
sekoteng, Pak Iya dapat menghidupi isteri dan kedua anak perempuannya. Dua anak
perempuannya tidak hidup terlantar maupun susah. Anak perempuannya yang satu
sudah lulus pendidikan SMA dan yang satunya sudah berumah tangga. Dia juga
sudah mempunyai rumah sendiri di Cirebon,walaupun tidak besar, itu cukup untuk
menjadi tempat beristirahat keluarganya. Isterinya di kampung bekerja sebagai
petani di sawah dan pengrajin anyam-anyaman.
Penghasilan Pak
Iya berjualan hanya sekitar Rp.50.000 perharinya dari setiap mangkuk dia
mematok harga Rp.5000.
“Kalau
perharinya tuh paling kebagian Rp.50.000, ya ga tentu kadang dapat lebih, ga
tentu tapi diatas Rp. 50.000,” kata Pak Iya.
Pembelinya
beragam, mulai dari anak SD sampai dengan orang dewasa. Rata-rata pembelinya
merasa dengan keberadaan pedagang sekoteng di kawasan puncak sangat membantu
untuk menghangatkan tubuh mereka. Menurut mereka, rasa khas sekoteng yang
terbuat dari jahe itu dapat membuat tubuh mereka tetap terasa hangat
ditengah-tengah cuaca dingin yang terkadang tetap menembus jaket yang tebal
sekalipun.
“Menurut saya,
orang yang berjualan sekoteng di kawasan puncak cocok banget, kita disini
dengan cuaca yang dingin bisa dihangatkan seketika oleh semangkuk sekoteng itu.
Saya sering beli juga kok kalau cuaca lagi dingin-dinginnya,” kata Icang, salah
satu pembeli sekoteng Pak Iya.
Dibalik
keberhasilannya menghidupi keluarga ditengah kerasnya persaingan berjualan di kawasan
Puncak, Pak Iya masih memiliki satu keinginan atau sebuah mimpi yang mulia. Dia
ingin menyekolahkan lebih lanjut anaknya ke jenjang yang lebih tinggi seperti
memasuki dunia perkuliahan. Walaupun berjualan sekoteng, Pak Iya tidak ingin
anaknya mengikuti jejaknya, mereka harus lebih tinggi darinya. Anaknya yang
paling kecil ingin dia masukkan ke perkuliahan agar memiliki pengetahuan yang
tinggi.
“Ya pengen sih,
sebagai orangtua ya pengen. Pengen sekali tuh, kalau saya berjualan sekoteng ya
anak saya jangan ikutanlah, harus ada peningkatan, harus lebih tinggi,” kata
Pak Iya memberitahukan cita-cita mulianya tersebut.
Bukannya tanpa
rintangan, dengan medan jalan yang tidak rata berupa tanjakan dan turunan
membuat Pak Iya sedikit lelah. Keluhannya juga seperti ada beberapa orang yang
tidak membayar setelah membeli dagangannya. Tetapi secara keseluruhan, dia merasa berjualan sekoteng
disini termasuk aman. Tingkat kriminalitas yang rendah itulah yang membuat Pak
Iya tetap berkeras untuk berjualan. Berbeda dengan Jakarta, tingkat
kriminalitas yang tinggi di ibukota negara tersebut membuat Pak Iya takut untuk
berjualan disana.
Pengalaman yang
paling memilukan yang dialaminya sepanjang berjualan sekoteng adalah dia pernah
mengalami tabrakan dengan pengendara mobil maupun motor. Pengendara gelap yang
menabraknya menyebabkan dagangannya tumpah ke jalan dan dia mengalami luka
sedikit dikakinya. Setelah menabrak, pelakunya langsung kaburmelarikan diri.
“Waktu saya
nyeberang, ada motor nabrak saya, alhamdulillah saya cuma luka sedikit dan
dagangan saya tumpah. Pengendaranya langsung kabur gitu,” kata Pak Iya sedikit
kesal.
Begitulah
sepenggal kisah seorang pedagang sekoteng yang bisa ‘menghangatkan’ sejenak
masyarakat Kota Bogor, bisa menghidupi keluarganya secara layak walaupun
penghasilannya tidak terlalu besar. Kisah Pak Iya ini menyampaikan suatu pesan
bahwa apabila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh tidak ada hal yang tidak
bisa kita lakukan.
Rintangan dan
keterbatasan bukan menjadi halangan dari sebuah niat baik yang tercipta untuk
kehidupan. Hidup harus dijalani dengan ikhlas tanpa beban, dengan niat dan
usaha yang baik maka apa yang kita inginkan akan menjadi sebuah kenyataan lagi
bukan sekedar mimpi.
Tidak ada yang
sempurna di dunia ini, meskipun Pak Iya dapat menghidupi keluarganya, dia masih
memiliki satu mimpi menyekolahkan anaknya ke tingkat perkuliahan.
Semoga mimpi Pak
Iya tersebut bukan cuma hadir didalam setiap tidurnya tapi menjadi sebuah sinar
yang menerangi kehidupannya. Sebuah kenyataan akan mimpinya itu adalah sinar
terang yang dia harapkan selama ini.